CORONAMETER — Jakarta Partai NasDem menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) serentak. NasDem mengatakan, MK sedang melalukan pencurian kedaulatan rakyat melalui putusan tersebut.
Terkait hal tersebut, Bendahara Umum Partai NasDem, Ahmas Sahroni menjelaskan, penolakan tersebut karena putusan MK dirasa aneh.
“Putusan ini aneh. MK terlalu sering mengubah-ubah aturan pemilu, tanpa pertimbangan matang terhadap penerapannya. Ini mencederai asas kepastian hukum yang justru seharusnya dijaga oleh MK,” jelas dia dalam keterangannya, Rabu (2/7/2025).
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, pun memberikan contoh masalah yang akan timbul.
“Sekarang misal begini, bagaimana dengan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang habisnya di tengah-tengah? Apa mereka akan diperpanjang lebih dari lima tahun? Kalau iya, ini namanya merusak demokrasi. Rakyat kan kemarin memilih mereka untuk lima tahun, bukan lebih,” jelas Sahroni.
Dipandang Cacat Konstitusional
Lebih lanjut, Sahroni menyebut putusan ini tidak hanya cacat konstitusional, tapi juga membingungkan publik dan membebani sistem pemilu yang sudah kompleks.
“Kalau aturan pemilu terus diubah-ubah, yang bingung bukan cuma partai politik, tapi juga masyarakat luas. Dulu bilang serentak, sekarang dipisah. Lalu lima tahun lagi bisa berubah lagi. Ini kan seperti main-main dengan sistem demokrasi yang seharusnya punya kepastian dan stabilitas,” demikian Sahroni.
NasDem Tolak Putusan Pemisahan Pemilu
Partai NasDem menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) serentak. NasDem mengatakan, MK sedang melalukan pencurian kedaulatan rakyat melalui putusan tersebut.
“Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” kata Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat dalam konferensi pers di NasDem Tower Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Dia mengatakan, MK tak diberikan kewenangan mengubah norma dalam UUD 1945. Untuk itu, putusan MK terkait pemisahan pemilu serentak bertentangan dengan UUD 1945.
“Sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional bertentangan dengan pasal 22B UUD 1945,” ucap Lestari.
Lestari menyampaikan putusan MK tersebut dapat mengakibatkan krisis konstitusional, bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi.
Dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, disampaikan bahwa pemilu serentak dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sementara dalam putusan MK, pemilu nasional dan daerah dilakukan terpisah dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
“Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional,” ujar Lestari.